KESENIAN TRADISIONAL BUROQ
DI KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN BREBES
BERASAL DARI KEBUDAYAAN IDEATIONAL, IDEALISTIK
Oleh: Ruslani
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Brebes memiliki banyak kesenian tradisional. Kesenian-kesenian tradisional itu antara lain; Bentha-benthi, yaitu upacara minta turun hujan; Kuntulan, yaitu seni atraksi bela diri dan tenaga dalam; Sintren, upacara minta turun hujan; Kuda Lumping, Buroq, Sandiwara, Tari Jaipong, Wayang Golek dan lain sebagainya.
Meskipun kesenian tradisional yang ada di Brebes ada pula di daerah lain namun belum tentu sama persis. Menurut Triyanto (1994:170), kehadiran berbagai bentuk kesenian dalam suatu masyarakat, sesuai dengan hasil-hasil penelitian lintas budaya, senantiasa memperlihatkan perwujudan dan fungsinya yang khas atau spesifik.
Kesenian tradisional Buroq adalah seni pentas/ seni pertunjukan yang sangat spesifik, serupa dengan Barongan dan Barongsai. Kesenian ini tersebar di wilayah Brebes pantura bagian barat sampai ke wilayah Jawa Barat, daerah perbatasan. Di wilayah Brebes tersebar di Kec. Bulakamba, Kec. Tanjung, Kec. Losari, Kec. Larangan, Kec. Ketanggungan dan Kec. Banjarharjo.
Buroq dalam mitos Islam adalah kendaraan yang dinaiki oleh Nabi Muhammad saat Isra Mi’raj dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho. Meskipun dalam kebudayaan Islam tidak disebutkan secara jelas apa dan bagaimana wujud Buroq itu, namun orang Indonesia pada umumnya menggambarkan bahwa Buroq berbentuk kuda bersayap dengan kepala seorang wanita yang berkerudung/ jilbab.
Perwujudan bentuk buroq sangat fantastis, tidak ada makhluk demikian di muka bumi ini. Lester Del Rey dalam The Liang Gie (1996:59) menyatakan bahwa seni fantastis biasanya menggambarkan tokoh, mahluk, pergulatan dan suasana pemandangan yang luar biasa, menakjubkan sampai mengerikan.
Berdasarkan kutipan di atas, berarti wujud Buroq adalah suatu karya fantastis yang diciptakan oleh seorang seniman pada masanya. Perwujudan tersebut tentunya bukan hanya perwujudan fisik belaka tetapi tentu memiliki makna yang mungkin akan disampaikan kepada masyarakat.
2. Kondisi Geografis dan Letak Wilayah
Berdasarkan monografi tahun 2008, Kecamatan Tanjung adalah salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah. Letaknya di pesisir pantai utara Jawa, ketinggian dari permukaan air laut 25 meter. Terdiri dari 18 desa dengan luas wilayah 46.500 hektar.
Kecamatan Tanjung berjarak 20 km dari kota kabupaten. Desa Kemurang Wetan berjarak 5 km dan desa Kubangputat berjarak 12 km dari pusat pemerintahan kecamatan. Desa Kemurang Wetan mudah dijangkau kendaraan umum karena dilewati jalan Jakarta-Purwokerto, tetapi Desa Kubangputat relatif lebih susah karena berada di bagian paling selatan, berbatasan dengan Kecamatan banjarharjo. Tidak ada jalur kendaraan umum ke lokasi tersebut.
3. Kondisi Kehidupan Masyarakat
Berdasarkan data monografi tahun 2008, jumlah penduduk Kecamatan tanjung adalah 84.931 orang, terdiri dari 42.430 orang dan perempuan 42.501 orang. Jumlah KK 18.620 KK yang kesemuanya berstatus WNI asli. WNA berjumlah 33 orang. Desa Kemurang Wetan berpenduduk 9.086 orang dari 2.268 KK dan Desa Kubangputat hanya berpenduduk 2.479 orang dari 745 KK.
51% penduduk Kecamatan tanjung berprofesi sebagai petani (buruh, penggarap, nelayan), 26% PNS, Militer dan pensiunan, 23% wiraswasta . Desa Kemurang Wetan berpenduduk 78% petani dan Desa Kubangputat hamper 100% penduduknya adalah petani.
Tingkat pendidikan masyarakat Kecamatan Tanjung tergolong rendah. Lulusan PT hanya 0,36%, SMA 2,85%, SMP 13,3%, SD 40% dan sisanya tidak tamat SD/ tidak sekolah (43.49%).
Penganut agama Islam ada 99%, hanya 1% yang non Islam, itupun pendatang yang umumnya warga keturunan Tionghoa. Dari 99% penduduk Islam, sebagian diantara mereka menganut Islam Kejawen, yaitu Islam yang masih percaya kepada hal-hal mistis seperti upacara kehamilan, kelahiran, perkawinan, sampai pada upacara kematian dan munculnya sesaji-sesaji pada ritual-ritual tertentu dan hari-hari tertentu.
Menurut KH. Nursidik, ulama setempat, adanya sesaji-sesaji pada masyarakat yang beragama Islam patut dimaklumi, meskipun tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Hal tersebut disebabkan karena sebelum ajaran Islam masuk ke Kabupaten Brebes, masyarakatnya sudah menganut ajaran lain, sehingga untuk menghilangkannya perlu sedikit demi sedikit.
B. Buroq dan Kesenian Tradisional Buroq
Buroq menurut asal katanya berasal dari kata ”Buraq” , dari bahasa Arab yang artinya Jasad hidup yang memiliki tenaga gaib (Mudhary, 1984:34), sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Buroq adalah binatang yang dikendarai Nabi muhammad SAW ketika Mi’raj (berupa kuda bersayap dan berkepala manusia).
Buroq dalam wujud yang sesungguhnya di alam ini sebenarnya tidak ada. Buroq hanyalah suatu perwujudan rekaan bentuk belaka sebagai karya seni yang islami. Meskipun hanya rekaan saja namun buroq memiliki keindahan dan keunikan tersendiri dan banyak memuat simbol-simbol yang perlu dipelajari.
Kesenian Buroq adalah nama dari kesenian tradisional yang didalamnya terdapat unsur perwujudan buroq. Kesenian ini serupa dengan kesenian Barongan yang ada di Cirebon, Kendal, Blora, Ponorogo dan yang ada di negeri Cina dan jepang. Unsur-unsur seperti Barongan dan Monyet (pentul) juga ada dalam kesenian buroq, disamping ada juga wujud Kuda, Gajah dan Burung Garuda.
Kesenian buroq biasa dipentaskan pada acara khitanan/ sunatan. Pengantin sunat biasanya naik di punggung Buroq dan diarak keliling kampung sebelum disunat dengan diiringi musik dan lagu-lagu. Unsur-unsur kesenian buroq lainnya, seperti harimau (barongan), monyet (pentul), kuda (jaran) dan gajah, termasuk juga pemusik dan penyanyi (sinden) mengikuti arak-arakan tersebut bersama dengan Buroq. Meskipun banyak unsur seni yang ditampilkan, namun Buroq itu sendiri tetap menjadi perhatian utama penonton.
C. Latar Belakang Munculnya Kesenian Tradisional Buroq dan Fungsi Kesenian Tradisional Buroq
a. Latar Belakang Munculnya Kesenian Buroq
Berdasarkan penuturan Kebayan Suyat (50) sebagai ketua kelompok kesenian buroq ”Satria Budaya” , Bapak Carsad (36) sebagai pemilik kesenian buroq, dan dua orang anggotanya di Desa Kemurang Wetan, Buroq pertama kali dibuat oleh Bapak Taryad (almarhum) sekitar tahun 1945. Menurut penuturan Munasir (38), sepupu almarhum Taryad, Taryad meninggal dunia pada tahun 1975 dalam usia 60 tahun dan tidak menikah selama hidupnya.
Ide pembuatan Buroq berasal dari gambar yang sudah ada pada masa itu, yaitu gambar dua ekor buroq sedang terbang di atas masjid. Dulu namanya bukan Buroq tetapi Peri Kenjala. Menurut Munasir, awal mula Taryad membuat buroq berasal dari mimpi yang kemudian diwujudkan ke dalam bentuk kesenian Buroq. Di dalam mimpinya, taryad didatangi oleh seorang laki-laki tua yang membawa seekor Buroq. Laki-laki tua tersebut memerintahkan kepada Taryad untuk membuat bentuk seperti Buroq tersebut dan dijadikan hiburan (kesenian). Mimpi tersebut oleh Taryad dianggap sebagai petunjuk sehingga ia menuruti mimpinya.
Wujud visual Buroq yang ditampilkan dalam kesenian Buroq menurut K.H. Nursidik (65) sebagai tokoh masyarakat setempat adalah hasil pengembangan dari Kitab. Dalam Kitab Nurudholam disinggung tentang bentuk kepalanya, sayapnya dan badannya. Berdasarkan kitab itulah kemudian orang membuat gambar atau wujud Buroq seperti sekarang ini.
![]() |
Gbr. 1. Peri Kenjala sebagai sumber inspirasi perwujudan
Kesenian Buroq
Menurut Munasir, wajah buroq yang kali pertama dibuat diambil dari seorang gadis yang paling cantik pada masa hidup Taryad. Wajah gadis itu dijadikan wajah buroq dan diberi nama seperti nama gadis tersebut, yaitu Sulami (Siti Sulami). Buroq Sulami juga sudah cukup terkenal di Kemurang Wetan dan sekitarnya.
![]() |
Gbr. 2. Siti Sulami, Buroq tertua
b. Fungsi Kesenian buroq
Pada awal mula pembentukan kesenian Buroq oleh almarhum Taryad, seni buroq hanya untuk hiburan bagi kelompoknya saja. Perkembangan selanjutnya, kesenian Buroq dipergunakan oleh orang-orang yang punya hajat di lingkungan sekitar, khususnya untuk acara resepsi khitanan. Sampai sekarang perkembangan fungsi Buroq menjadi semakin luas. Bukan hanya untuk acara khitanan tetapi untuk berbagai acara lainnya seperti peringatan HUT RI , pernikahan, selamatan rumah dan lain sebagainya. Perkembangan kesenian Buroq bukan hanya di wilayah Kemurang Wetan saja tetapi menyebar ke sebagian Kabupaten Brebes dan sebagian Kodya Cirebon karena Kemurang Wetan berdekatan dengan daerah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa barat.
Menurut penuturan Caryad, pemilik Kesenian Buroq “Satria Muda”, sejak dahulu belum pernah ada orang non Islam yang mau nanggap kesenian buroq. Semua orang yang nanggap adalah orang Jawa dan orang Sunda yang beragama Islam. Kebanyakan orang Jawa menggunakan buroq untuk acara khitanan, tetapi orang Sunda menggunakan kesenian Buroq untuk acara resepsi pernikahan.
2. Karakteristik Kesenian Tradisional Buroq
Setiap kesenian memiliki karakteristik tersendiri, seperti halnya Kesenian Tradisional Buroq. Kesenian Tradisional buroq sangat spesifik karena bentuknya yang fantastis. Perwujudan bentuk kuda bersayap dan berkepala wanita berkerudung dengan hiasan mahkota dan kalung yang berkilauan merupakan bentuk yang tidak dimiliki oleh kesenian lainnya. Di samping itu ada pula perwujudan bentuk Gajah, Kuda, Harimau dan Buroq Depok sebagai pendukung kesenian buroq, di samping Buroq itu sendiri. Kesemuanya berbentuk binatang/ hewan.
Melihat unsur –unsur peralatan musik dan wujud Buroqnyq terlihat bahwa kesenian Buroq berbau seni yang Islami, tetapi menurut K.H. Nursidik, tidak ada ajaran Islam yang disampaikan dalam pementasannya, hanya saja ide perwujudan buroq berasal dari Islam. Rebana memang termasuk seni Islam, tetapi kalau rebana yang islami diiringi dengan lagu/ puji-pujian untuk Allah atau untuk Rasul, sedangkan dalam kesenian Buroq lagunya bukan itu tetapi lagu-lagu Cirebonan. Perwujudan bentuk Buroq yang menyerupai makhluk hidup juga tidak dibenarkan dalam ajaran Islam.
![]() |
Gbr. 3. Perwujudan Buroq
![]() |
Gbr. 4. Musik pengiring kesenian Buroq
a)
b)
c) ![]() d) |
Gbr. 5. Unsur pendukung kesenian Buroq. a) Macan dan Gajah, b) Singa Depok c) Kuda d) Buroq Depok
![]() |
Gbr. 6. Proses pementasan kesenian buroq
Proses pementasan dengan keliling kampung juga merupakan suatu bentuk yang unik. Antara pemain dan penonton tidak dibatasi oleh apapun. Semuanya campur baur dan bermain bersama. Penonton ingin mendekat dan menyentuhnya sedangkan pemain ingin mengejar dan mencari penonton yang mengganggunya.
Unsur-unsur yang muncul dalam kesenian Buroq dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu perwujudan dua buah Buroq, perwujudan hewn-hewan/ binatang, dan pemain musik.
![]() |
Gbr. 8. Bentuk visual Buroq
![]() |
Gbr. 9. Pengantin sunat sedang naik Buroq
![]() ![]() |
Gbr. 10. Hiasan leher Buroq
![]() |
Gbr. 11. Hiasan kepala Buroq
3. Makna Simbolis Perwujudan Buroq
Menurut penuturan KH. Nursidik, Buroq adalah kendaraan yang diciptakan di sorga khusus untuk kendaraan nabi. Kendaraan tersebut sebagai alat transportasi Nabi saat menjalankan tugas, disamping sebagai hiasan sorga.
Pendapat senada dikemukakan oleh Mudhary (1984:41) bahwa Buroq adalah binatang yang datangnya dari sorga, sedangkan sorga adalah tempat bagi makhluk-makhluk suci.
Pendapat KH. Nursidik dan Mudhary diperkuat dalam kitab Nurudholam. Kitab tersebut artinya sebagai berikut:
(Buroq) adalah hewan sebangsa dengan bihol (kuda), hanya saja lebih besar dari khimar (keledai) dan lebih kecil dari bihol (kuda) berkepala manusia dan bersayap. Sebab dinamakan Buroq; hewan yang memiliki lari tercepat, hewan yang diambil Malaikat Jibril dari sorga untuk kendaraan Nabi Muhammad untuk menjalankan Isro.
Ada sebuah kisah tentang percakapan Jibril dengan seekor Buroq di Sorga saat Jibril diperintahkan untuk mencari Buroq. Kisah yang tertulis dalam Kitab Durroh Anasihin artinya adalah sebagai berikut:
40.000 Buroq. Tiap-tiap dahi Buroq terdapat nama Muhammad dan semua Buroq bergembira, kecuali ada seekor Buroq yang menangis. Kemudian Malaikat Jibril bertanya kepada Buroq, Apa yang sedang engkau pikirkan? Kemudian Buroq menjawab, Wahai Jibril, selama 40.000 tahun setelah kami mendengar nama Muhammad, dalam hati kami ingin bertemu kepadanya sehingga beberapa tahun kami tidak makan dan minum terbakar karena cinta.
Buroq itulah yang akhirnya dipilih oleh Jibril untuk kendaraan nabi muhammad.
Perwujudan bentuk Buroq dalam kesenian Buroq memiliki perbedaan dengan Buroq yang dinyatakan dalam kitab Nurudholam. Buroq dalam kesenian tradisional buroq ukurannya justru lebih besar dari kuda, hal ini untuk memudahkan dalam penggunaan. Menurut seorang pengajar pondok pesantren di Kecamatan klampok, yang tidak mau dituliskan namanya menyatakan bahwa wujud kepala Buroq yang sesunggunhnya bukanlah seorang wanita karena Buroq tidak memiliki jenis kelamin. Perwujudkan kepala wanita dalam kesenian Buroq diartikan sebagai Bidadari dari sorga yang melambangkan kesucian.
D. Buroq Sebagai Kebudayaan Ideational dan Idealistik
Kesenian dalam tahapan Ideational ditandai dengan cirri-ciri sebagai berikut:
1. Menggambarkan peristiwa religious.
2. Kesalehan, laku tanpa pamrih.
3. Simbolis, seni merupakan lambang dunia spiritual, dan seni bukan untuk dinikmati, tetapi berfungsi untuk menghubungkan manusia dengan Allah (Sorokin dalam Iswidayati).
Melihat cirri-ciri tersebut di atas kita dapat menyimpulkan bahwa kesenian tradisional Buroq akarnya adalah kebudayaan Islam, yaitu budaya yang berkembang dari ajaran-ajaran keislaman.
Apa yang telah diungkapkan dalam Kitab Nurudholam, KH. Nursidik dan Mudhory adalah senada, yaitu mengakui bahwa Buroq adalah hewan sebangsa kuda berkepala bidadari, dapat terbang dan dipergunakan sebagai kendaraan dalam Isro oleh Nabi Muhammad pada saat menerima perintah sholat. Kendaraan ini memiliki kecepatan seperti kilat.
Sorokin menegaskan bahwa yang riel adalah sesuatu yang dapat ditangkap dengan indera, disebut sebagai kebudayaan idealistik, yaitu perpaduan antara inderawi dengan suprainderawi. Pergeseran Buroq dari ideational menjadi idealistik terjadi pada kesenian tradisional Buroq karena kesenian ini memunculkan secara nyata, dapat ditangkap dengan indra wujud buroq yang bersumber hanya dari kata-kata belaka. Meskipun demikian suprainderawinya masih sangat kental dalam kesenian Buroq, terbukti dengan masih digunakannya sesaji-sesaji dan kelompok pendukungnya adalah orang-orang Islam.
E. Buroq Sebagai Kebudayaan Sensasi
Lambat-laun kesenian tradisional buroq mulai meninggalkan unsur-unsur budaya ideational dan idealistik. Kelompok pendukungnya adalah orang-orang islam ”kejawen” yang kebanyakan memadukan antara budaya Islam dan budaya Hindu-Budha. Ini mengakibatkan kesenian Buroq menjadi jauh dari akar-akar islami. Bahkan lebih jauh lagi, dianggap sebagai hiburan semata.
Banyak unsur-unsur baru yang dimasukkan dalam kesenian Buroq untuk menambah kemeriahan/ keramaian kesenian ini agar lebih menghibur. Unsur-unsur baru dalam kesenian Buroq bahkan tidak berhubungan dengan budaya Islam, seperti ditambahkannya bentuk barongsai, buta, burung, naga, egrang dan bentuk-bentuk hewan lainnya.
Menurut Sorokin, kesenian dalam tahap sensasi berfungsi sebagai hiburan, kebanyakan sebagai karikatur, satire, komedi, lelucon dan seterusnya. Pada umumnya bergaya naturalistik, visual dan tidak memuat simbolisme suprainderawi.
Itulah yang terjadi dalam kesenian Buroq untuk dapat bersaing dengan kesenian-kesenian moderen lainnya. Tanpa adanya perubahan ke arah sensasi maka kesenian ini tidak mungkin akan dipakai dalam acara peringatan HUT RI, tasyakuran pembangunan rumah, atau ajang untuk mencari uang dengan keliling kampung (ngamen).
DAFTAR PUSTAKA
Iswiayati, Sri. ......... Perkembangan Kebudayaan menurut P. Sorokin
Khayam, Umar. 1981. Seni Tradisional Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan
Mudhary, Bahaudin. 1984. Menjelajah Angkasa Luar Peristiwa Metafisika Al Mi’raj. Surabaya: Pustaka Progresif.
Pakuningrat, Maulana.1996. ”Islam dan Tradisi Budaya Cirebon” dalam Ruh Islam dalam Budaya Bangsa, Aneka Budaya Jawa. Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal.
Rohidi, Tjetjep Rohendi. 1996. ”Mereka-reka Kesenian Tradisional dalam Persangkutan Kebudayaan Nasional”. dalam Media FPBS IKIP Semarang No.23 Th. XI. Semarang: IKIP Semarang Press.
The Liang Gie. 1996. Filsafat Seni, Seni Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pusat Belajar Ilmu Berguna (PUBIB)
Triyanto.1994. ”Seni Sebagai Sistem Budaya: Bahasan Teoritis dalam Konteks Seni Tradisional”. Media FPBS No. 1 Th. XVII April 1994. Semarang: IKIP Semarang Press.